Sabtu, 20 Desember 2014

Pertamina Tiga Lini: Sebuah Opini


 


"Ada tiga objek utama yang paling banyak dimention kalau harga BBM Naik: Presidennya, Inflasi (Istilah yang Menggambarkan Harga Harga Barang Naik), dan Pertamina."

Statemen awal opini saya ini boleh jadi benar, boleh jadi tidak.Sesuai judulnya, karena ini sebuah pandangan dari saya, seorang mahasiswa Akuntansi yang ingin belajar, diajari, untuk kemudian menjadi seorang terpelajar tentang  Akuntansi Perminyakan.Obyekannya anak teknik (geologi, FTTM,teknik kimia), anak akuntansi tahu apa? Ini menariknya, ketika suatu objek akan tumbuh berkembang ketika berbagai perspektif ilmu secara teoretis dan aplikatif dapat berkontribusi secara konstruktif membangunnya.

Kembali ke pertanyaan awal, walau tidak benar ketiganya, saya yakin tiga hal tersebut menjadi topik yang diperbincangkan ketika harga BBM Naik. Lebih tepatnya mungkin dikritisi, bila tak ingin dikatakan dipersalahkan. "Presidennya gak mikirin rakyat lah, makin susah karena harga-harga naik lah, Pertamina ga becus ngelola minyak lah".statemen ini seolah jadi trending topic musiman karena hampir setiap tahun isu harga BBM ini bergejolak. Kalau sudah gini, bukan hanya jadi opini, melainkan stereotipe negatif tanpa mengetahui duduk paham persoalannya. 

Tak bisa dipungkiri, sorot mata tajam menatap Pertamina, terlepas dari Pemerintah terkait pengelolaan minyak ketika harga BBM atau produk minyak lain naik. Ada statemen membela, mempertanyakan, bahkan mencecar pedas kinerjanya. Apa yang saya lihat beberapa hal mengerucut pada satu konklusi: keraguan akan kinerja dan masa depan Pertamina. Benarkah demikian? Seperti janji saya di awal, saya mencoba memandang ini dari kacamata seorang awam yang belajar Akuntansi, dari perspektif bisnis sebuah korporasi.

Pertanyaan pertama: Pertamina itu tergolong apa?Perusahaan?Benar, BUMN? Benar, Perum/Persero/Perjan? Persero (tanpa terbatas). Pertamina adalah korporasi, perusahaan persero dengan tujuan mencari keuntungan. Salah bila memandang Pertamina sebagai perusahaan dengan memberi kemanfaatan murni tanpa mengejar keuntungan, karena Pertamina bukan Perum. Meskipun Pertamina kini masih tetap menjadi pengemban mandat penyedia PSO (Public Service Obligation) seperti premium dan solar, memandang buta Pemerintah layaknya Pemerintah yang boleh defisit adalah pandangan yang salah kaprah karena justru akan membunuh mati Pertamina sendiri sebagai sebuah korporasi.

Argumen selanjutnya: Jangan serta merta untung dijadikan suatu hal negatif, menggerorogoti konsumen dengan margin tinggi dengan quality cost rendah atau ketidakberpihakan akan rakyat kecil dengan penyesuaian harga, sekali lagi, Pertamina adalah korporasi. Pertamina meraup laba, bukan untuk pemegang saham, karena bentuknya masih Persero, melainkan untuk tumbuh, berkembang. Pertamina untung, laba dibagikan sebagai dividen hanya untuk Pemerintah dan sisanya, menjadi laba ditahan untuk diinvestasikan kembali.Sehingga, Pertamina UNTUNG ITU HARUS, tetapi bukan berarti kritikan pedas akan aktivitas bisnis mereka tidak bisa dilakukan.

So, mari kita pahami bagaimana cara menilai kinerja Pertamina. Pertamina mungkin salah satu korporasi dengan kompleksitas aktivitas bisnis, bahkan korporasi dengan aspek pengelolaan terumit di dunia dengan konsentrasi terbagi untuk menyediakan kebutuhan publik (PSO mandate). Secara sederhana mungkin kita dapat membagi Pertamina dalam tiga aktivitas besar: Upstream, Midstream, and Downstream. Saya membaginya menjadi tiga: hulu, tengah (pengolahan/kilang), dan hilir (pemasaran dan distribusi) karena 3 penilaian kinerja yang berbeda pada tiga aktivitas tersebut.

Hulu, orang mengidentikkan dengan aktivitas eksplorasi, pencarian sumber minyak, pencarian sumur berpotensi yang memberikan pengembalian (minyak) sebagai sumber minyak potensial yang dapat diandalkan. Secara teknis saya tidak ingin membicarakan detail, tetapi, bagaimana kita bisa menilai kinerja unit hulu (PHE, Pertamina EP) bukan dari pencapaian dollar keuntungan yang mereka peroleh. Bagaimana mereka berbicara tentang operasi mereka? Meski bisa dikonversikan dollar, atau untung diukur dari barrel produksi, unit produksi adalah suatu investment center dalam korporasi. Investment center adalah pusat pertanggungjawaban dengan tolok ukur penggunaan kapital untuk mencapai keuntungan (target produksi tertentu). Mengapa pusat investasi? Karena bisnis eksplorasi minyak memiliki tingkat resiko tinggi, pencarian minyak harus didasarkan pada berapa pencapaian produksi dalam satu tahun dengan investasi aset/kapital berapa dollar/rupiah. Bila didasarkan pada satu aspek saja, misal investasi aset saja maka ujungnya hanya keengganan berinvestasi, mencari sumber eksplorasi baru yang berimbas pada keterbatasan ketersediaan minyak. Bila hanya didasarkan pada pencapaian produksi, hal sebaliknya terjadi, eksplorasi secara agresif tanpa sadar hal itu justru menghabiskan Capital Expenditure untuk investasi aset produksi.

Pengolahan, orang banyak berbicara tentang kilang, efisiensi produksi, biaya yang timbul untuk mengolah minyak mentah menjadi produk minyak (avtur, premium, LPG, aspal,dll). Benar ketika suatu unit pengolahan dipertanyakan dari sisi efisiensinya, karena kontrol unit ini terletak pada biaya, atau sebagai cost/expense center. Maka, tidak jarang masyarakat mempertanyakan efisiensi Pertamina, dengan menunjuk aktivitas kilangnya karena pada unit bisnis ini, minyak mentah dihimpun, diproses menjadi produk minyak yang kemudian disalurkan pada unit hilir (distribusi dan pemasaran). Sebaliknya, salah bila Pemerintah sampai detik ini masih ragu untuk berinvestasi dengan membangun kilang baru/mengembangkan kilang yang sudah ada karena kekhawatiran margin kilang yang kecil dan tidak menarik untuk investor. Utamanya, unit pengolahan TIDAK BERPIKIR UNTUNG, karena saluran penjualan berada pada unit hilir, bukan unit pengolahan. Strategi harus dibangun Pemerintah, bila ada keterbatasan APBN untuk investasi kilang yang menghabiskan dana ratusan triliun. Solusinya bisa dengan joint venture (G to B) dengan perusahaan asing yang memiliki ladang minyak, dengan menawarkan insentif sekaligus membeli minyak yang diproduksinya. Atau, bekerjasama dengan NOC negara yang oversupply minyak untuk menjadi penyuplai minyak sekaligus membangun kilang pengolahannya. Karena masalah negara kita saat ini ada pada keterbatasan sumber daya minyak dan keterbatasan teknologi dan pengolahan minyak itu sendiri (tidak semua kilang minyak di Indonesia mampu mengolah minyak sendiri/impor dan memproduksi produk minyak yang tersedia di pasar).

Hilir? Tentu, di sini Pertamina harus menjadikan unit hilir sebagai Revenue Center. Revenue Center mendasarkan diri pada pencapaian pendapatan yang diperoleh dari bagian pemasaran dan distribusi. Mengapa bukan  Profit Center? Alasan utamanya adalah karena komponen biaya yang dihasilkan dari unit ini pada umumnya memiliki persentase kecil dari keseluruhan kos produk. Pusat pendapatan hanya mengontrol biaya yang bisa dikontrol oleh pusat pendapatan, salah satunya adalah biaya pemasaran. Dengan demikian, bila unit pengolahan mampu mewujudkan diri sebagai pusat biaya yang baik, efisiensi produksi tercapai, unit pemasaran berfokus pada pemerolehan pendapatan dan menjaga pangsa pasar produk Pertamina sendiri. Hal ini esensial, mengingat konsekuensi tingginya harga BBM bersubsidi saat ini adalah, kompetisi semakin terbuka antara Pertamax sebagai BBM non sbusidi dengan produk Shell, Petronas. Kemampuan menjaga pangsa pasar dan pendapatan dengan peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan unit pengisian bahan bakar menjadi kunci dan hal utama.

Mari jadi kritikus cerdas, karena Pertamina sebagai korporasi memiliki tiga unit bisnis besar dengan karakteristik yang cukup jauh berbeda, agaknya perlu lebih lihai memandang ukuran kinerja dari masing masing aktivitas bisnis. Harapan yang sama disampaikan pada Pemerintah, agar memandang Pertamina tidak hanya sebagai entitas 'sapi perah' yang dinanti setoran dividen untuk penerimaan negara, melainkan aktif dan peduli mendampingi Pertamina sebagai korporasi yang berkembang menjadi besar, kebanggaan kita bersama. Layaknya skuad sepakbola, Pertamina memiliki tiga lini yang penting: kiper dan pemain bertahan (unit pengolahan) yang menjaga efisiensi permainan, mencoba untuk tidak kebobolan, gelandang (hulu) yang diukur dari umpan ke penyerang, kemampuan menciptakan peluang dari kontrol permainan, serta penyerang (pemasaran-distribusi) yang diharapkan mampu membawa tim menang, mencetak banyak gol dan peluang. Seperti sepakbola kita yang terus diharapkan menjadi kebanggaan negeri ini, Pertamina dengan tiga lini, juga menjadi harapan menjadi kebanggaan besar negeri, menjadi powerhouse Indonesia dan korporasi berdaya saing di dunia.

Aldo Egi Ibrahim
@AldoEgi













Minggu, 16 Februari 2014

Memahami Kekuatan ‘Kita’

2014,akhirnya tibalah kita pada tahun yang menentukan arah masa depan Indonesia. Berbagai statemen meramalkan akan terjadi banyak dinamika, kejadian, bahkan dihubungkan dengan hal mistik dan takhayul Indonesia akan dilanda banyak masalah apabila pejabat negara terus memperkaya diri dan masyarakat tidak mau menjaga lingkungannya. Bencana yang terjadi di awal tahun, banjir, gunung meletus, gempa bumi, seakan menjawab ramalan dan menambah ketakutan Indonesia menuju gerbang keterpurukan.

 Saya mencoba melihat apa yang terjadi dari perspektif lain. Penekanan bukan pada setuju atau tidak setuju Indonesia menuju kegelapan dengan hadirnya banyak bencana di awal tahun 2014, melainkan apa yang bisa kita bangun dari awal untuk menghadapi tantangan dan momen menentukan yang hadir setiap tahunnya. Saya mencoba mencermati hal lain di balik pemberitaan yang menjadi trending topic awal tahun ini seperti geliat Pemilu 2014, keprihatinan akan bencana, sosok kontroversi yang menghiasi media dengan tingkat polahnya. Banyak hal lain yang tak terekam media, tetapi menjadi tolakan saya melihat tantangan dan apa yang harus dilakukan 2014 ini, seperti aksi #bangundaerah oleh pemimpin daerah muda dengan segala terobosan dan latar belakang, ragam prestasi yang muncul seperti juara ASEAN Para Games, Juara Piala AFF U-19, ataupun pencapaian luar biasa diaspora Indonesia dengan karya yang mereka buat. Tulisan ini bukan hanya berlatar titik tolak optimisme yang coba saya ambil, melainkan menjawab ketakutan dan kebutuhan dasar lahiriah kita, mendapat bahagia secara nyata dan utuh ke depannya. Kita tidak akan takut, dan terus bahagia di masa depan, apabila kita memahami kekuatan kita.

2014 ini menjadi tahun penuh bahaya dan peringatan buat kita semua. Bahaya karena ancaman instabilitas Pemilu, tarik menarik politik, satu lagi, satu tahun menuju Asean Economic Community 2015 (AEC 2015). AEC 2015 adalah gerbang kompetisi terbuka negara ASEAN dengan sumberdaya yang ada. Contoh nyatanya adalah kita bebas bekerja di instansi manapun yg ada di seluruh negara ASEAN, begitupula orang negara ASEAN lain bebas kerja di instansi di Indonesia. AEC 2015 ini menandakan kita semakin dekat dengan globalisasi nyata. Dunia semakin menyatu, integrasi mengikis idealisme negara yang tak diimbangi progresivitas. Lalu apa yang bisa kita lakukan.

Saya mencoba bercerita tentang ragam kegiatan yang dialami awal 2014 ini. Mulai dari menyusun resolusi, menggagas rencana besar. Mencari inspirasi, bertemu dengan kisah-kisah luar biasa. Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dari apa yang saya alami dan kisah yang saya dapatkan. Pertama bagaimana pergerakan teman dan kakak angkatan dengan kajian berbagai disiplin ilmu, model komunitas, ataupun gerakan membangun daerah dibangun secara kolektif. Kedua cerita dari aktivis organisasi yang memilih menimba ilmu di luar negeri sana, menantang dunia dengan idealisme yang mereka punya, untuk pulang memperjuangkan kebenaran dengan lebih taktis dan cerdas. Modal mereka hanya ada dua, keyakinan dan rasa kebersamaan.  Mereka membangun diri dengan keyakinan kalau mereka mampu mengaplikasikan dengan apa yang telah mereka pelajari, keluar dari zona nyaman untuk terus menjemput tantangan-tantangan, serta berpikir untuk manfaat yang lebih besar dari sekedar kemapanan diri sendiri. Mereka yakin, bahwa yang dapat menghentikan mereka hanyalah keraguan diri dan Takdir Tuhan untuk menjemput kita. Adanya rasa kebersamaan, komitmen untuk mengekang ego untuk niat untuk membangun, melaksanakan, dan mempertanggungjawabkan ini secara bahu-membahu dan saling percaya. Frasa “KITA” dibanding “Aku” ini sangat penting demi luasnya lingkup perubahan yang diharapkan. Berawal dari keyakinan pribadi, berbagi ide, membangun komitmen awal, saling menguatkan, itulah jawaban dari apa yang bisa kita lakukan untuk membawa Indonesia ke angin positif perubahan. Dengan memahami kekuatan kita, tak ada yang menghentikan kita selain niat mengakhirinya sendiri untuk  menjawab rasa takut, menghadapi 2014 yang penuh “bahaya”, menggantinya menjadi langit cerah dengan senyum bahagia di masa depan bumi pertiwi kita. 


Selasa, 05 November 2013

Good Governance Partai Politik: Antitesis Korupsi Sistemik Indonesia

“Bedanya Korupsi Zaman Soekarno, Soeharto, dan SBY, kalau dulu zaman Soekarno, korupsi dilakukan orang dibawah meja, zaman Soeharto korupsi dilakukan di atas meja, zaman SBY ngeri lagi, mejanya dibawa, dikorupsi sekalian!”
(Mudrajad Kuncoro, Guru Besar FEB UGM)
            Kutipan unik ini memberikan gambaran bagaimana fenomena korupsi di Indonesia yang semakin memprihatinkan. Fenomena korupsi telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan bernegara, menjalar vertikal mulai tingkat pusat sampai daerah, menjangkau hampir seluruh bidang kehidupan bermasyarakat, pendidikan, kesehatan, hingga pemenuhan kebutuhan dasar manusia: sandang, pangan, dan papan. Berbagai pemberitaan media tentang korupsi silih berganti menunjukkan korupsi telah menjadi kejahatan terorganisir yang sulit dibongkar, modus operandi yang kian canggih mempersulit pengungkapan tersangka dan kerugian, serta jatuhnya nama baik satu persatu lembaga negara karena korupsi memunculkan pertanyaan: “Sudah jatuhkah moral dan integritas bangsa ini hingga titik nadir?” Meminjam istilah dalam skandal Century, perlukah penyelamatan negara ini karena korupsi ini telah menjadi perkara sistemik yang dapat merobohkan bangsa?” Pertanyaan ini bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah untuk menjawab, tetapi kita generasi muda tidak berhenti membicarakan “permasalahan bangsa” tetapi bagaimana memposisikan Indonesia lebih baik ke depannya dengan solusi yang ditawarkan. Bagaimana Indonesia mengatasi korupsi sistemik dengan kajian solutif, membongkar tatanan kehidupan berpolitik yang masih jauh dari kata bersih dan jujur di negeri ini.
A. Trias Corruptica Indonesia, Fenomena Dunia
            Berbicara tentang Korupsi Sistemik, satu hal yang dapat dijadikan dasar mengapa korupsi dikatakan sistemik di Indonesia. Korupsi telah menjadi penyakit yang menjangkiti badan eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif sebagai badan peradilan. Apabila Montesqieu mencetuskan teori Trias Politica, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif sebagai elemen yang memiliki wewenang masing-masing pada tatanan kehidupan demokrasi, di Indonesia muncul Trias Corruptica yang menggambarkan bahwa lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki “hak dan wewenang” melakukan korupsi secara sistematis, terorganisir sehingga sulit terungkap. Saat ini tidak hanya muncul kasus korupsi yang dilakukan bupati, gubernur, menteri atas bagi-bagi proyek, tetapi juga kongkalikong dengan anggota legislatif, “bagi-bagi kue” pada proses penganggaran (budgeting). Praktek ini bahkan merambah pejabat lembaga yudikatif seperti suap pemenangan/pembatalan hasil pilkada seperti yang terjadi di MK baru-baru ini. Begitu sistematis dan terorganisirnya, sampai korupsi ini tidak hanya terjadi pada eksekusi akhir suatu proyek (markup anggaran, suap tender), tetapi juga perencanaan program (mafia proyek, korupsi pengadaan), hingga pengamanan oleh badan peradilan (jual beli putusan).
Statistik penanganan tindak pidana korupsi menunjukkan tiga tahun terakhir (2010-2013) muncul kasus korupsi yang dilakukan hakim dengan tren meningkat setiap tahunnya. Data lain menunjukkan kasus gratifikasi (suap jabatan) per 31 Agustus 2013, hampir seluruh lembaga negara tersangkut insentif jabatan untuk memuluskan kepentingan tertentu. Pradiptyo (2013) dalam presentasi makalahnya menyebut korupsi di Indonesia bukan hanya korupsi sistemik, tetapi juga struktural, bagaimana sistem yang berjalan memberikan insentif lebih tinggi untuk melakukan korupsi dibanding mematuhi hukum. Pradiptyo (2013) menyatakan praktik korupsi di Indonesia sudah sangat canggih dengan munculnya berbagai bentuk kejahatan korupsi yang tidak ditemui di negara lain seperti makelar kasus, joki napi, dll. Trias Corruptica, demikian begitu canggihnya praktik korupsi di Indonesia menjadi fenomena yang dibicarakan tidak hanya dalam negeri melainkan masyarakat dunia.
B. Pangkal Permasalahan: Tata Kelola Partai Politik
            Fenomena Korupsi yang menjangkiti hampir seluruh tatanan kehidupan ini tentu tidak dapat dibiarkan membawa negara ini semakin jatuh dan kolaps. Statistik menunjukkan, korupsi sistemik di Indonesia berpangkal pada keterlibatan partai politik sebagai lembaga yang memiliki kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan. Survei Global Corruption Barometer 2013 menunjukkan skala korupsi kelembagaan di Indonesia menurut responden adalah parlemen dengan 4,5 persen bersama kepolisian, disusul peradilan 4,4 persen dan partai politik 4,3 persen. Rilis survei Komite Pemantau Legislatif (Kopel) menyebutkan 179 kasus korupsi melibatkan legislator sebagai perwakilan partai politik. Data Kementrian Dalam Negeri Indonesia juga mencatat sebanyak 309 kepala daerah terjerat kasus korupsi, sejak pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung tahun 2005. Angka ini cukup fantastis mengingat sudah dilaksanakan 924  kali sehingga hampir 33,44% atau sepertiga hasil pilkada langsung berujung kasus korupsi kepala daerah.
Munculnya kasus korupsi seperti mafia anggaran dan proyek di Hambalang, Wisma Atlet, suap impor daging sapi, suap migas, suap Hakim MK, dilakukan oknum partai politik yang bertujuan melanggengkan kekuasaan dengan perbuatan merugikan negara untuk mengembalikan utangnya pada partai politik atas keterpilihan sebagai legislator/pejabat perwakilan partai. Motif yang sering muncul adalah tingginya biaya politik pemenangan pilkada sehingga ada “kewajiban” mengembalikan biaya yang timbul dengan penyalahgunaan anggaran negara/daerah. Fakta yang dipaparkan menunjuk satu pangkal permasalahan, yaitu partai politik. Logika dasar yang dapat menjelaskan argumen tersebut: (1)Korupsi sistemik merupakan kejahatan terorganisir, melembaga yang hanya dapat dilakukan bersama dalam satu atau lintas lembaga (2)Sistem yang berjalan, mulai dari Pemilihan Langsung hingga operasional kehidupan bernegara memberi insentif lebih tinggi untuk korupsi daripada mematuhi aturan hukum. Studi kasus menunjukkan keterwakilan parpol dalam berbagai lembaga menjadi pelaku kejahatan, bekerjasama secara rapi melakukan tindak pidana korupsi Contoh nyata lain adalah tingginya biaya politik memunculkan moral hazard mengembalikan biaya politik yang dikeluarkan sehingga memicu penyalahgunaan wewenang pejabat partai tersebut. Benarkah partai politik menjadi pihak yang harus dievaluasi untuk mengatasi korupsi sistemik di Indonesia? Bedah regulasi Partai Politik dan analisis data menjadi dasar kajian untuk melihat tata kelola partai politik di Indonesia saat ini.
C. Membedah Regulasi Partai Politik dan Tata Kelola Keuangannya
            Apabila kita mencoba membedah regulasi terkait partai politik, kita akan menemukan beberapa referensi yang dapat dijadikan acuan bagaimana seharusnya tata kelola partai politik, khususnya pada akuntabilitas dan transparansi keuangannya. UU No. 2 tahun 2011 sebagai perubahan UU No. 2 tahun 2008 menyebutkan beberapa poin penting, salah satunya perubahan pasal 39 menyebutkan: “Pengelolaan keuangan partai politik diatur lebih lanjut dalam AD ART” diubah menjadi (1)Pengelolaan keuangan partai politik dilakukan secara transparan dan akuntabel. Tuntutan untuk mewujudkan akuntabilitas dan transparansi diatur lebih lanjut pada poin selanjutnya: (2)“Pengelolaan keuangan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan secara periodik. Ayat selanjutnya juga menyebut bagaimana partai politik setidaknya harus memberikan laporan realisasi anggaran partai politik, laporan neraca, dan arus kas. Faktanya, kami tidak menemukan laporan keuangan yang dipublikasikan, baik itu melalui media cetak maupun media elektronik (website dan media sosial) yang akhir-akhir ini gencar dipergunakan sebagai alternatif media kampanye, tidak ditemukan dokumen yang menunjukkan pengelolaan partai politik ke publik. Aturan ini seperti hanya imbauan yang tidak memiliki kekuatan hukum dan sanksi mengikat pada partai politik. Inilah sebenarnya informasi penting yang seharusnya diketahui oleh masyarakat luas bagaimana partai politik memperoleh dananya, sumbernya dari mana, pengeluaran operasional dan penggunaannya seperti apa, sehingga hal mencurigakan dapat dideteksi dari publikasi laporan keuangan setiap periodenya. Semakin banyak kasus korupsi, dengan terdakwa oknum partai politik, bermotif “setor kas partai” akan menjadi statemen yang tidak mengenakkan bagi partai politik yang semakin tidak populer di mata masyarakat. Transparansi pengelolaan keuangan ini bisa menjadi jawaban, bagaimana “indeks integritas”partai politik ini seperti apa, menghilangkan stigma partai politik sebagai mafia anggaran dalam sistem kehidupan bernegara. 
D. Kajian dan Kalkulasi Alokasi Anggaran Pemerintah untuk Partai Politik
            UU No.2 tahun 2011 tentang partai politik sebenarnya telah mengatur secara saksama sumber dana partai politik dan batasan sumbangan dari pihak tertentu. Salah satu sumber dana partai politik adalah alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Nasional/Daerah (APBN/APBD) . Bahkan disebutkan dalam UU No.2 tahun 2011 dan UU. No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pengaturan lebih rinci tentang pertanggungjawaban partai politik atas alokasi anggaran negara untuk partai politik ini. Partai politik wajib melaporkan penggunaan dana APBN/D kepada pemerintah setahun sekali setelah diperiksa BPK. Alokasi dana ini diberikan berdasarkan jumlah suara yang didapat. Sebenarnya, untuk apa anggaran negara diberikan pada partai politik? Permendagri No.5 tahun 2009 menyebutkan alokasi anggaran ini diharapkan menjadi dana penunjang pendidikan politik dan operasional sekretariat partai politik. Regulasi menyatakan dengan tegas pelaporan penggunaan dana dari APBN/D ini. Bagaimana signifikansinya untuk partai politik?
            Hal pertama yang akan kami paparkan adalah signifikansi, berikut disajikan hasil simulasi FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) tahun 2011:
No
Partai
Jumlah Kursi
Jumlah Suara
Jumlah Bantuan APBN 2011
1
Partai Demokrat
150
21.703.137
2.213.719.974
2
Partai Hanura
18
3.922.870
400.132.740
3
Partai Gerindra
26
4.646.406
473.933.412
4
PDIP
95
14.600.901
1.489.209.282
5
PKS
57
8.206.955
837.109.410
6
PAN
43
6.254.580
637.697.160
7
PPP
37
5.533.214
564.387.828
8
PKB
27
5.164.122
524.904.444
9
Partai Golkar
107
15.037.757
1.533.851.284
TOTAL
85.081.132
8.675.215.464
Berdasarkan simulasi FITRA terhadap alokasi APBN 2011 untuk Partai Politik berdasarkan jumlah suara yang diperoleh legislatif (DPR) menunjukkan bantuan APBN untuk operasional partai politik sangatlah kecil, tidak begitu signifikan dalam dana operasional partai politik. Sebagai perbandingan baru-baru ini Konvensi Demokrat sebagai bentuk penjaringan calon presiden dari partai Demokrat menghabiskan Rp 40 Miliar, 20 kali lebih besar dari jumlah bantuan APBN 2011 untuk partai Demokrat. PDIP Perjuangan ‘butuh’ 10 miliar untuk menang pemilihan gubernur Jawa Tengah yang notabene sebagai “kandang PDIP”. Kesimpulannya bantuan alokasi APBN untuk partai politik tidak cukup signifikan dibanding perputaran dana yang ada untuk operasional partai. Kalau pun regulasi mengatur secara tegas partai politik mempertanggungjawaban dana alokasi ini, bukan suatu hal yang cukup signifikan untuk mendorong proses akuntabilitas dan transparansi partai politik, karena secara jumlah tidak begitu signifikan.
E. Meneropong 2014: Akuntabilitas dan Transparansi Partai Politik Masa Kini
            Pada bagian akhir tulisan, kami mencoba menyajikan hasil penelitian Transparency International Indonesia (TII) tentang akuntabilitas dan transparansi partai politik. Survei dilakukan bulan Juni hingga April 2013. Hasil penelitian ini setidaknya dapat dijadikan referensi untuk melihat bagaimana komitmen partai politik untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan partai politik di mata publik. Metode pengambilan data sendiri menggunakan kuisioner dengan narasumber informan kunci dari partai politik di tingkat DPP, tak terkecuali bendahara umum DPP Partai politik. Berikut lampiran grafik hasil penelitian:
Ada 9 responden yang menjadi objek penelitian yakni Partai Gerindra, PAN, PDIP, Partai Hanura, PKB, PPP, Partai Demokrat, PKS. Dari 9 responden, lima partai yang menjadi objek komparasi indeks partai politik yaitu PAN, PDIP, PKB, Partai Hanura, dan Gerindra sangat kooperatif dengan proses penelitian, PPP kooperatif, PKS dan Demokrat kurang kooperatif, sedangkan Partai Golkar tidak kooperatif. Indeks 1-4 menunjukkan semakin angka mendekati 4 maka semakin baik performa yang ditunjukkan. Hasil penelitian TII menunjukkan poin transparansi dan akuntabilitas partai politik terhadap informasi yang wajib dipublikasikan. Hal ini yang kemudian menjadi tantangan pada Pemilu 2014. Persaingan keras antar partai untuk mendapatkan kursi legislatif dan presiden akan memunculkan berbagai strategi pemenangan dengan variabel biaya yang berpotensi tidak terkontrol. Biaya politik tinggi, tata kelola partai amburadul, status quo dalam sistem partai politik hanya akan membawa Indonesia kembali pada tradisi “balik modal” dengan modus korupsi semakin parah, korupsi di berbagai sektor. Harus ada perubahan, khususnya pada tata kelola partai politik sehingga tidak membiarkan Trias Corruptica tumbuh subur lagi.
Adapun rekomendasi yang dapat diberikan pada perubahan tata kelola partai politik agar dapat lebih baik:
-          Deregulasi UU Partai Politik yang lebih tegas terhadap pengelolaan keuangan partai politik dengan sistem reward and punishment lebih tegas pada partai politik sehingga berkomitmen mewujudkan pengelolaan dana yang transparan dan akuntabel.
-          Memperlakukan Partai Politik layaknya entitas publik yang wajib mempublikasikan laporan keuangan partai politik yang telah diaudit di berbagai media, media cetak, elektronik, dll.
-          Memperluas pengaturan pelaporan keuangan partai politik tidak hanya dana alokasi APBN/D saja tetapi juga dana partai politik secara keseluruhan.
-          Memasukkan standar audit terkait dana Non-APBN ke dalam UU Partai Politik
-          Mendorong adanya PPID dan perbaikan sistem pencatatan laporan keuangan  sesuai standar akuntasi yang


Daftar Pustaka:

UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik
UU No.2 tahun 2011 tentang Partai Politik
Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
Keppres no 26 tahun 2010  tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Tahun 2011
PP No. 5 tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik
Permendagri Nomor 24 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Penhitungan, Penganggaran dalam APBD, Pengajuan, Penyaluran, dan Laporan Pertanggungjawaban Penggunaan Bantuan Keuangan Partai Politik
Pradiptyo, Rimawan. 2013. “Does Coruuption Pay in Indonesia?  If So, Who are Benefited the Most?”Makalah yang disampaikan pada Seminar “Pembangunan Akuntabilitas Partai Politik: Menaklukkan Korupsi”

Website:




Jumat, 16 Agustus 2013

Refleksi 68 Tahun Indonesia



“Sudah Cukup Santunkah Kita Mengupayakan Merdeka di Negeri Ini?”

17 Agustus,11.14
Tulisan ini saya buat sebagai curahan hati, sharing¸unek-unek yang bisa jadi renungan kita bersama.  Uraian ini hanya lebih dari sekedar opini, membuka ruang bertukar pendapat. Sebagai seorang Indonesia, agaknya ini bisa menjadi salah satu pertanyaan yang jawabannya tergantung pada masing-masing individu. Sebuah sentilan yang jarang disuarakan, tetapi menjadi hal penting yang akhir-akhir ini hilang dan menimbulkan masalah bagi negeri kita yang telah memasuki usia matang kemerdekaan.

Agustus, bulan dengan fakta sejarah luar biasa yang menentukan bagaimana kita bisa tersenyum, berbicara, dan beraktivitas di bumi pertiwi ini. Bulan yang menggairahkan kita, yang muda, tua, laki-laki, perempuan,anak-anak, dewasa tentang kata “Nasionalisme/cinta tanah air” dengan peringatan 17 Agustus, hari kemerdekaan bangsa yang besar ini. Ragam kegiatan dilakukan, bentuk seremonial, perayaan suka cita, hingga demonstrasi dan dialog kritis digelar untuk menunjukkan bahwa: kita ada, bersama, sadar bahwa kita punya Indonesia, negeri yang dicinta, untuk harapan menjadi semakin mulia ke depannya. Berbagai euforia, semangat, kepedulian digelar, satu hal yang menggelitik saya ketika hampir di setiap perayaan 17 Agustus ini kita berhadapan pada satu pertanyaan: “Sudahkah kita merdeka saat ini?”

Pertanyaan yang sulit untuk dijawab menurut saya, dan memiliki berbagai sudut pandang untuk menjawabnya. Perspektif ekonomi, sosial, politik, budaya, teknologi, dan sisi lain memiliki argumen tersendiri untuk menjawab ini. Berbagai tajuk diskusi digelar untuk merenungkan satu pertanyaan kritis ini, mengingat telah matang usia negara Indonesia ini berdiri, ratusan juta penduduk masih belum menemukan keadilan tentang hak memperoleh kemerdekaan ini. Buat saya, ada pertanyaan lain yang dapat menjadi renungan kita bersama selain pertanyaan apakah kita benar-benar merdeka. Bukan berpikir akan hak saja, melainkan kewajiban, dengan pertanyaan: “Sudah cukup santunkah kita untuk mengupayakan kemerdekaan di Indonesia?”

Pikiran ini muncul dalam benak saya melihat apa yang terjadi satu tahun ini di Indonesia. Satu hal yang saat ini sering hilang: “TOLERANSI, SALING MENGHARGAI”. Sebuah pertanyaan yang melempar kita pada ruang introspeksi diri, menjadi renungan mendalam dan menjadi lecutan kita untuk jadi lebih baik dalam berbagai sisi. Saya ingin berpikir agak anti mainstream, ketika pertanyaan apakah kita telah merdeka menjadi lagu wajib yang disuarakan setiap 17 Agustus ini, coba kita ubah menjadi pertanyaan bagi kita sendiri bangsa Indonesia sudah cukup santun menghargai hak-hak kemerdekaan bangsa kita sendiri. 

Coba kita tengok kembali ke belakang ketika pejuang kita merebut kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Semangat kebhinekaan teraktualisasi pada perumusan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila,bagaimana sisi kemanusiaan, saling menghormati dalam keragaman agama dan budaya menjadi landasan kehidupan bermasyarakat bernegara. Semangat pemuda dari berbagai daerah, berbagai golongan dan kalangan menyatukan berbagai persepsi untuk gagasan kesatuan. Pasca merdeka, perjuangan pun diteruskan, untuk berjuang menghadirkan kehidupan yang lebih baik. Reformasi menghadirkan kita kebebasan berpendapat, melepas diri dari belenggu penganiayaan atas kritik negara. 15 tahun reformasi ini kita patut bersyukur atas segala kondisi yang kita nikmati di Indonesia saat ini.
Faktanya, hal yang terjadi saat ini adalah bagaimana kita tak bisa menghargai kemerdekaan yang telah dihadirkan dewasa ini. Berbagai masalah terjadi berpangkal pada satu hal: bagaimana kita tidak bisa menghormati hak individu/kelompok masing-masing, memaksakan kehendak pada orang lain. Intoleransi kehidupan beragama, penganiayaan kelompok tertentu, perdebatan memaksakan pendapat masing-masing, diskriminasi, penghinaan kaum tertentu menjadi topik berita yang dihadirkan pada satu tahun ini. Keprihatinan tentu melanda kita sebagai bangsa Indonesia yang dikenal menjunjung budaya kesantunan, menghargai satu sama lain. Kita merdeka sebagai bangsa yang beragam, mengapa kita tak dapat menghormati kemerdekaan ragam bangsa Indonesia kita ini. Bagaimana kita bisa bertanya sudahkah kita merdeka kita seutuhnya apabila kita masih belum bisa menghormati hak dasar dari saudara-saudara kita. Bagaimana kita bisa berharap bangsa ini maju, melesat seutuhnya apabila kita menghalangi saudara kita untuk bergerak berkembang. Bagaimana kita menginginkan negeri kita ini bebas, mengelola kekayaan kita seutuhnya, lepas dari cengkraman negara asing kalau kita sendiri tak dapat melakukan konsolidasi ide, bertekad kuat bersama memperjuangkan kekayaan kita. Bagaimana kita mengharapkan negara ini lepas dari berbagai masalah, kalau kita sendiri tak mengulurkan tangan pada saudara kita untuk lepas dari masalah, bahkan membuat masalah sendiri di tanah air tercinta ini. Bagaimana kita mengharap merdeka ini bebas pemikiran dari hal-hal negatif yang merusak bangsa kalau kita sendiri yang justru membuat fitnah-fitnah yang menyulut konflik antar golongan. Bagaimana kita berharap merdeka ini kita solid, bersatu tanpa adanya pemberontakan tanpa kita berlaku adil dan peduli pada bangsa kita di perbatasan. Ada penelitian menarik bahwa 90%masalah yang terjadi pada kita adalah karena kesalahan kita sendiri. Kalau ini kita asosiasikan pada negara kita, untuk mengatakan ini adalah belenggu merdeka, maka kita perlu melepaskan belenggu merdeka pada bangsa kita, bersikap santun menghormati hak-hak saudara kita.

Akhir tulisan ini saya mengutip wejangan warisan Bung Karno yang dapat membuat kita bisa memahami secara mendalam” Sudahkah, Apakah kita sudah cukup santun mengupayakan merdeka di Indonesia?”
Perjuanganku akan lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”